KLAIM KEBENARAN ISLAM


KLAIM KEBENARAN ISLAM
Oleh: Zulfia Nurul Ainiyyah

A.    PENDAHULUAN
Masyarakat  Indonesia dikenal sebagai bangsa dengan masyarakat yang majemuk, meskipun sebagian besar penduduknya adalah pemeluk agama Islam. Lambang  Negara ini adalah “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya meski berbeda-beda tetap satu jua. Meski begitu,bangsa kita ini tidak pernah sepi dari sesuatu yang berbau kerusuhan maupun pertikaian yang membawa-bawa nama agama. Sungguh sangat di sayangkan, lebih-lebih banyak kesenjangan yang terjadi di antara mereka.
Islam yang diturunkan Allah untuk memberi Rahmat di kehidupan dunia ini, memandang pluralitas bukan sebagai sesuatu yang harus di musnahkan, namun memandang pluralitas sebagai Rahmat dari Allah untuk makhlukNya. Sudah menjadi sunatullah, adanya pluralitas menjadikan kehidupan ini dinamis dan tidak stagnan (monoton), karena adanya kompetisi dari masing-masing fihak untuk berbuat menjadi yang terbaik.

B.     RUMUSAN MASALAH
1. Ayat-ayat eksklusif dan pluralitas dalam Islam
2. Tiga sikap menghadapi pluralitas
3. Dialog dalam hubungan antar-umat beragama

C.    PEMBAHASAN
1.    Ayat-ayat Eklusifitas dan Pluralitas dalam Islam
Agama Islam, demikian juga Kristen, melalui kitab suci masing-masing, mengariskan sebagai satu-satunya agama yang benar. Artinya, bagi umat muslim, Islam merupakan satu-satunya agama yang unggul dan ajaranya bersifat universal, yang berlaku bagi semua wilayah dan segenap umat manusia, tanpa di batasi waktu dan ruang. Sebaliknya, bagi umat Kristiani, agama Yesuslah sebagai agama satu-satunya jalan kebenaran.
Ketika komunitas pemeluk agama masih hidup terisolisasi (terpisah) dari komunitas pemeluk agama lain karena belum majunya sistem komunikasi dan tranfortasi, klaim kebenaran mutlak semacam itu tidak menimbulkan masalah. Mereka bisa hidup dengan tenang menjalankan ajaran agamanya, tanpa ada pihak lain yang mengusiknya. Tetapi setelah dunia yang besar ini semakin mengecil karena globalisasi akibat kecanggihan teknologi. Klaim kebenaran mutlak oleh suatu umat beragama bisa menimbulkan masalah. Sebab, ternyata pemeluk agama lain juga mengemukakan hal yamg sama.[1]
Islam adalah agama yang toleran, mempuyai sifat sosial yang tinggi, membolehkan bahkan menganjurkan umatnya untuk mengenal dan mempelajari cara bekerja sama, tak hanya dengan sesama muslim namun juga umat lainnya.
                  Adanya pluralitas atau keberagaman bukan berarti kita membenarkan agama lain namun kita menghargai keberagaman mereka. Sikap ini merupakan sikap inklusif dalam beragama. Karena dalam Al-Qur’an telah dijelaskan dalam Q.S.Al-Hujarat: 13 berikut ini
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur
(#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dalam bersikap secara inklusif, Islam berpegang pada nash Al-Qur’an. Kemanusiaan merupakan faktor penyatu, dan perbedaan adalah kemajemukan dalam kerangka kesatuan itu, tidak ada suatu dimensi pluralitas itu kecuali dengan adanya dimensi yang lain. Sehingga terjadi interaksi dan saling kenal yang terus terjadi di antara pihak-pihak yang berbeda dalam lingkup kemanusiaan yang mencakupnya.[2]
Dalam Q.S.Al Mu’minun: 53
(#þqãè©Üs)tGsù OèdtøBr& öNæhuZ÷t/ #\ç/ã ( @ä. ¥>÷Ïm $yJÎ/ öNÍköys9 tbqãm̍sù
Artinya: “Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).”

Jika kekhasan dan perbedaan antar kelompok masyarakat, bangsa dan kabilah (suku) adalah keberagaman dalam kerangka kesatuan kemanusian, maka logika Al Qur’an menjadikan hikmah hal itu dalam dinamika saling kenal antara individu manusia dengan saling kenal yang membawa keselarasan, bukan untuk permusuhan. (Fi dzilalil Qur’an, juz 5,hal.3348)[3]
Q.S.Al Maidah: 48
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB
Artinya:“Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu”

Lalu, Islam itu menjadi ekslusif (istimewa atau berbeda dari yang lain), ketika Islam disebut sebagai agama yang paling benar di sisi Allah. Yakni sesuai dengan firmanNya dalam Q.S.Ali Imran: 19
¨bÎ) šúïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3 $tBur y#n=tF÷z$# šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) .`ÏB Ï÷èt/ $tB ãNèduä!%y` ÞOù=Ïèø9$# $Jøót/ óOßgoY÷t/ 3 `tBur öàÿõ3tƒ ÏM»tƒ$t«Î/ «!$#  cÎ*sù ©!$# ßìƒÎŽ|  É>$|¡Ïtø:$#
Artinya: “ Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.

Juga dalam surat yang sama, pada ayat: 85
`tBur Æ÷tGö;tƒ uŽöxî ÄN»n=óM}$# $YYƒÏŠ `n=sù Ÿ@t6ø)ムçm÷YÏB uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÌÅ¡»yø9$#
Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”

Tidak ada toleransi dalam hal beragama, yakni dalam hal keTuhanan. Tidak toleransi bukan berarti umat lain harus di basmi. Justru kita tidak boleh menggangu, bahkan mestinya kita melindungi umat lain, kita di larang memaksakan keyakinan pada mereka. Sesuai dengan QS.Al Baqarah: 256
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ .
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

Juga dalam Qs.Al Kafirun: 6
ö/ä3s9 ö/ä3ãYƒÏŠ uÍ<ur ÈûïÏŠ
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

2.    Tiga Sikap Menghadapi Pluralitas
            Manusia diciptakan dengan karunia hak dan kewajiban. Hak itu ada yang merupakan hak biasa dan ada pula yang asasi. HAM bersifat umum tetapi selalu bersandar pada 2 hal yang sangat mendasar, yaitu kebebasan dan persamaan.
            Isi Universitas Declaration of Human Right pada 10 Juni 1946 yang kemudian disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948, meliputi hak hidup dan perlindungan; hak kebebasan beragama, hak kekayaan dan penghidupan yang layak; hak kehormatan dan hak politik.
            Dalam Q.S.Al Isra’: 70, berisi tentang pengakuan dan perlindungan terhadap HAM sebagai hak dasar yang diberikan oleh Allah kepada manusia.[4]
Dalam kehidupan sehai-hari, hal terpenting dalam memelihara hubungan baik dengan sesame manusia adalah adanya sikap toleransi. Dalam kamus Ilmiah Populer, disebutkan bahwa toleransi adalah sifat dan sikap saling menghargai.
Membangun kehidupan beragama yang harmonis memang bukan merupakan agenda yang ringan. Agenda ini harus dijalankan dengan hati-hati mengingat agama lebih melibatkan asapek emosi daripada rasio, lebih menegaskan “klaim kebenaran” daripada “mencari kebenaran”.[5]
Bila dikatakan etik pemeliharaan pergaulan, maka etik juga memerlukan pemeliharaan, yaitu:
a.       Saling Menerima
Tiap subyek memandang dan menerima subyek lain dengan segala keberaadaannya dan bukan menurut kehendak dan kemauan subyek pertama. Dengan pengertian, setiap golongan mampu menerima tanpa memperhitungkan perbedaan, kelebihan/kekurangan.
b.      Saling Mempercayai
Merupakan kenyataan dan pernyataan dari saling menerima. Langgeng atau tidaknya pergaulan, baik antara pribadi maupun antar golongan sangat ditentukan oleh bertahan/tidaknya sikap saling mempercayai.
c.       Prinsip  Berfikir Positif
Fungsional kerukunan antar umat beragama sebagai pengatur hubungan luar dalam tata cara bermasyarakat  yang diwujudkan dengan kerjasama dalam proses sosial kemasyarakatan.[6]

3.     Dialog  dalam  Hubungan  Antar Umat Beragama
Negara kita Indonesia ini, terbuka lebar bagi budaya-budaya asing yang baru datang. Jadi tidak dipungkiri, jika agama yang ada tidak hanya satu, namun lebih dari itu.
Selama berabad-abad, sejarah interaksi umat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan. Untuk mencapai pemecahan atas segala sikap destruktif ini, banyak tawaran – teoritis maupun praktis-dikemukakan oleh mereka yang peduli terhadap kerukunan antar agama. Antara lain, yang paling keras agamanya adalah upaya untuk  mencapai suasana dialog antar agama. Sudah saatnya umat beragama meninggalkan era monolog untuk beranjak kepada era dialog.[7]
Setiap pemeluk agama akan menilai agamanya yang terbaik  dan yang paling sempurna jika dibandingkan dengan agama lain. Melihat kenyataan, Arnold Toyn Bee (1889-1975), sarjana Inggris, secara gamblang berkata bahwa “tidak seorangpun  dapat menyatakan dengan pasti bahwa sebuah agama lebih benar dari agama lain”.[8]
Meski harus di akui pula, dialog antar agama juga belum membuahkan hasil yang memuaskan. kerap masih ada sekelompok yang melampaui batas dan mencederai dialog yang selama ini di bangun. Menurut Dr.Amsal Bakhtiar,Dekan Fakultas Usuludin dan Filsafat,UIN Syarif Hidayatullah,Jakarta; Dialog antar agama yang telah di lakukan selama ini hanya di lakukan oleh di hadiri oleh tokoh itu-itu saja.
Dengan pemahaman untuk saling menghargai dan toleransi yang tak hanya di mengerti oleh para pemuka agama saja,tentu langkah toleransi juga akan semakin mudah untuk di lakukan.
Di perlakukan langkah yang lebih kongkret dan praktis,dengan demikian dialog ini tak hanya berhenti dalam suatu wacana saja.dialog juga harus di lakukan secara intensif.
Namun langkah lanjut yang perlu di lakukan setelah setelah mengadakan dialog adalah bagaimana kesepakatan dalam dialog dapat di praktikkan dalam kehidupan masyarakat. sehingga dialog akan memiliki pengaruh nyata dalam hubungan antarumat beragama.[9]
                        




D.    KESIMPULAN
Ø  Ternyata Islam sangat terbuka dan toleransi, menghargai bahkan menganjurkan umatnya untuk tidak memaksakan umat lain keluar dari agama mereka .
Ø  Setiap agama pasti meyakini bahwa agama merekalah yang paling benar, sedangkan  yang lain salah.
Ø  Untuk menjalani kehidupan di dunia ini supaya berjalan selaras dan seimbang, perlu adanya sifat dan sikap saling menghargai antar umat beragama.
Ø  Dialog di perlukan karena dialog dapat menjadi sarana untuk saling berbagi dan bertukar pengalaman.
Ø  Dalam berdialog, setiap peserta harus memiliki sikap terbuka untuk pendapat peserta yang lain, karena pendapat orang pasti berbeda.

E.     DAFTAR PUSTAKA
http://opini.wordpress.com/2006/10/6/dialog-antar-agama/ 
Husin Al Munawar, Said Aqil, Prof.Dr.H., Fiqih Hubungan Antar Agama, Ciputat Press, Jakarta, 2005.
Muhammad Imarah, Dr., Islam dan Plularitas , terjemahan Abdul Hayyie Al- Kattanie, Gema Insani Press, Jakarta, 1999.
Setiawan, Nur  Kholis, Dr.Phil.H.M., Akar-akar Pemikiran Progresif dalam  Kajian  Al Quran, Elsaq Press,Yogyakarta, 2008.
Shihab,Alwi,Dr., Islam Inklusif, Mizan, Bandung, 1998.
Sudarto ,H. , Konflik Islam-Kristen, PT.PUSTAKA RIZKI PUTRA, Semarang, 1999.


[1] H.Sudarto, Konflik Islam-Kristen, PT.Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999, hal.88
[2] Dr. Muhammad Imaroh, Al Islam wa Taadudiyyah, Darur Rasyad, Kairo-Mesir, 1997,hal.139
[3] Ibid,hal.141
[4] Dr.Phil.H.M.Nur Kholis Setiawan, Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al Qur’an, Elsaq Press, Yogyakaryta, 2008, hal.25
[5] Prof.Dr.H.Said Aqil Husin Al Munawar, M.A., Fikih Hubungan Antar Agama, cet.III, Ciputat Press, Jakarta, 2005, hal.xiii
[6] Ibid, hal.11
[7] Dr.Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizzan, Bandung, 1998, hal.40
[8] Ibid, hal.45                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar