ADOPSI


ADOPSI
(ANAK ANGKAT)
Oleh: Rif’atul Faridah

A.    PENDAHULUAN
Struktur keluarga ideal terdiri atas suami sebagai kepala keluarga, istri sebagai ibu rumah tangga, dan anak tau anak-anak sebagai anggota keluarga. Oleh karena itu kehadiran anak di tengah-tengah keluarga merupakan bagian tak terpisahkan dalam struktur keluarga bahagia. Dengan hadirnya anak suasana keluarga dalam rumah tangga terasa ceria penuh canda dan kemanjaan.
Sebaliknya, jika suami istri dalam membina hubungan rumah tangganya yang telah cukup lama belum dikaruniai keturunan anak, maka suasana keluarga dan rumah tangganya terasa sunyi sepi, kurang ada canda, tidak ada tingkah polah anak yang membawa tawa orang tuanya, dan menjenuhkan.
Bagi pasangan suami istri yang telah lama mendambakan keturunan anak untuk melengkapi keindahan dan kebahagiaan keluarga rumah tangganya, sebagai ikhtiar dan upaya untuk mendapatkan mereka lakukan melalui terapi medis, maupun tradisional yang tentu semua upaya tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan memerlukan waktu, kesungguhan serta kesabaran, kemungkinannya tentu dua, yaitu : berhasil atau gagal.
Suatu keluarga kurang harmonis apabila tidak adanya seorang anak, sehingga mengakibatkan suramnya keadaan rumah tangga yang telah lama dibina. Suami istri selalu bertengkar dan saling menyalahkan bahkan ada yang ingin melakuan perceraian. Dalam hal ini, suami-istri masih saling mencintai dan menyayangi dan tidak menginginkan kawin lagi dengan pasangan lain, melakukan poligami apalagi melakun perceraian. Maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk mengatasi konflik rumah tangga seperti ini adalah melakukan permohonan pengangkatan anak ke Pengadilan Agama. Sehingga pemakalah menggunakan kaidah     ( Madhorat dapat dihapus)    الضرريزال .
Pengadilan agama sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah peradilan Negara yang harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, walaupun dalam penjelasan pasal 49 huruf a angka 20 disebutkan “... dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam”, bukan berarti bahwa pengadilan agama dalam menjalankan tugasnya mengenai pengangkatan anak semata-mata berdasarkan hukum Islam dengan mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Dalam hal ini, apabila suami istri melakukan permohonan pengangkatan anak ke Pengadilan Agama dan mengabulkanya maka pemakalah menggunakan kaidah (Kebijaksanaan Imam/Kepala Negara terhadap rakyat itu harus dihubungkan dengan kemaslahatan) تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة . Pemakalah simpulkan bahwa Hakim (Kepala PA) adalah imam karena memberikan suatu keputusan kapada masyarakat yang sangat membutuhkannya. Putusan yang diambil oleh pihak Pengadilan merupakan putusan yang berdasarkan UU Peradilan yang ada dan untuk kemaslahatan umat.     
                                                                                          
Dalam kajian sejarah Islam (Tarikh), pengangkatan anak (Adopsi) sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Mahmud Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi pengankatan anak sebenarnya jauh sebelum Islam datang telah dikenal oleh manusia, seperti pada bangsa Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa pada zaman kuno. Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam (masa jahiliyah) istilah pengangatan anak dikenal dengan at-tabanni dan sudah ditradisikan secara turun-temurun.[1]

B.   PEMBAHASAN
1.      PENGERTIAN PENGANGKATAN ANAK
Istilah “Pengangkatan Anak” berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari bahasa Inggris “Adoption”,[2] yang berarti Mengangkat seorang anak, anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung”.[3] Pada saat Islam disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat Arab (zaman Jahiliyyah) lembaga pengangkatan anak telah menjadi tradisi, dengan istilah Tabanni التبنى “ yang berarti “mengambil anak angkat”.
Dalam kajian hukum Islam, Mahmud Syaltut, mengemukakan ada dua pengertian “pengangkatan anak”. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih saying, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya. Cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu.[4] Pengartian yang pertama itulah konsepsi definitif yang dikembangkan hukum Islam, sedangkan pengertian kedua ialah konsepsi adopsi Arab Jahiliyyah atau Konsepsi Staatsblad 129/1917 yang telah dibatalkan oleh al Ahzab ayat 5 tersebut.
Anak angkat dalam pengertian pertama lebih dilandasi oleh kepentingan yang terbaik untuk anak, di samping perasan seseorang yang menjadi orang tua angkat untuk membantu orang tua kandung dari anak angkatnya atau bagi pasangan suami istri yang tidak dikaruniai keturunan, agar anak angkat itu bisa dididik dan disekolahkan, sehingga diharapkan nantinya anak tersebut bisa mandiri serta dapat meningkatkan taraf hidupnya dimasa yang akan datang, dan lebih dari itu terbesit dihati orang tua angkat bahwa anak angkatnya kelak kiranya dapat menjadi anak shaleh yang mau merawat orang tua angkatnya di saat sakit, dan mendo’akan di saat orang tua ngkat telah meninggal dunia. Perbuatan hukum pengangkatan anak seperti itu, dapat diterima sebagai bagian dari bentuk amal shaleh yang sangat dianjurkan Islam, maka bentuk pengangkatan anak yang pertama sebagaimana yang didefinisikan oleh Syaltut tersebut jelas tidak bertentangan dengan asas hukum Islam, bahkan ditegaskan dalam Q.S. al-Maidah ayat 2
Artinya :  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.[5]

Dan Q.S. al Maidah ayat 32,
Artinya :  Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.[6]

Q.S. al Insan, Ayat : 8 perbuatan demikian sangat dianjurkan dalam Islam :
Artinya :  Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.[7]

2.          MOTIVASI PENGANGKATAN ANAK
Dalam praktiknya, pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia mempunyai beberapa tujuan dan/atau motivasinya. Tujuannya antara lain adalah untuk meneruskan keturunan, apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Motivasi ini sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak mungkin melahirkan anak, padahal mereka sangat mendambakan kehadiran anak dalam pelukannya di tengah-tengah keluarganya.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang sangat tergantung dari orang tuanya.
Praktik pengangkatan anak dengan motivasi komersial, perdagangan, sekedar untuk pancingan dan setelah memperoleh anak, kemudian anak angkat disia-siakan atau diterlantarkan, sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak. Oleh karena itu, pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan pertolongan dan perlinduingan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik dan lebih maslahat.
Harus disadari bahwa pengangkatan yang sesuai dengan budaya dan akidah masyarakat Indonesia tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Hal sensitive yang juga harus disadari oleh calon orang tua angkat dan orang tua kandung adalah bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, hal ini penting diperhatikan oleh karena pengaruh agama orang tua angkat terhadap anak angkatnya, jika hal ini terjadi maka akan sangat melukai hati dan nurani serta akidah orang tua kandung anak angkat itu.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang sangat tergantung dari orang tuanya.
Praktik pengangkatan anak dengan motivasi komersial, perdagangan, sekedar untuk pancingan dan setelah memperoleh anak, kemudian anak angkat disia-siakan atau diterlantarkan, sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak. Oleh karena itu, pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan pertolongan dan perlinduingan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik dan lebih maslahat.
Harus disadari bahwa pengangkatan yang sesuai dengan budaya dan akidah masyarakat Indonesia tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Hal sensitive yang juga harus disadari oleh calon orang tua angkat dan orang tua kandung adalah bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, hal ini penting diperhatikan oleh karena pengaruh agama orang tua angkat terhadap anak angkatnya, jika hal ini terjadi maka akan sangat melukai hati dan nurani serta akidah orang tua kandung anak angkat itu.
Pengangkatan anak juga mungkin terjadi dilakukan oleh Warga Negara Asing terhadap anak-anak Indonesia, hal ini memerlukan adanya ketentuan hokum yang jelas terhadap pengangkatan anak antarwarga Negara. Pasal 39 angka 4 UU No. 23/2002 menyatakan bahwa pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Dalam hal asal-usul anak yang akan diangkat tersebut tidak diketahui, misalnya anak itu dibuang oleh ibunya ditempat pembuangan sampah atau dipinggir jalan lalu ditemukan oleh seseorang, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat, yaitu agama penduduk di sekitar tempat pembuangan bayi tersebut.
Di atas telah diuraikan bahwa hubungan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak terputus oleh lembaga pengangkatan anak, dan orang tua kandung tetap memiliki hak untuk menjalankan hak dan kewajibannya sebagai orang tua kandung, oleh karena itu orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya, dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan anak yang bersangkutan.
Kaitannya dengan bimbingan dan pengawasan terhadap anak angkat, Pasal 41 UU No. 23/2002 menegaskan bahwa pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak, yang detailnya akan diatur dengan peraturan pemerintah.     

3.           DALIL-DALIL NASH YANG BERKAITAN DENGAN PENGANGKATAN ANAK
  1. Anak angkat harus dipanggil oleh orang tua kandungnya.
Surat al-Ahzab/33, ayat 4 dan 5.
Artinya :    Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[8]

  1. Janda anak angkat bukan mahram orang tua angkat.
Artinya :    Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.


  1. Islam melarang menashabkan anak angkat dengan ayah angkatnya.
Artinya :    Dari Abu Dzar r.a. Bahwasannya ia mendengar Rasulullah SAW. Bersabda: “tidak seorangpun mengakui (membanggakan diri) kepada orang yang bukan bapak yang sebenarnya, sedangkan ia mengetahui benar bahwa orang itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur. Dan barang siapa telah melakukan hal itu maka bukan dari golongan kami (kalangan kaum muslumin), dan hendaklah dia menyiapkan sendiri temaptnya dalam api neraka.” (HR. Bukhori Muslim)
  
  1. Haram membenci ayahnya sendiri.
Artinya :    Dari Abu Hurairah r.a. bahwasannya Rasulullah bersabda : “Janganlah kamu membenci ayah-ayahmu, karena barang siapa membenci ayahnya maka ia adalah seorang yang kafir. (HR. Muslim).

Seorang anak yang menashabkan dirinya kepada laki-laki lain yang bukan bapaknya, haram baginya surga. Sabda Rosulullah SAW :
Artinya :    Dari Abi Ustman ia berkata : Tatkala Zaid dipanggil ia telah dijadikan anak angkat, maka aku pergi menemui Abu Bakrah, lalu aku berkata kepadanya. Apa yang kalian lakukan ini? Bahwasannya aku telah mendengar dari Sa’ad bin Abi Waqqash berkata. Kedua telingaku telah mendengar dari Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa mengakui (membangsakan) seorang ayah selain ayahnya dalam Islam, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, maka haram baginya surga”. (HR. Muslim)


4.           PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM
Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hukum Islam tidak mengakui lembaga pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum seperti yang pernah dipraktekkan masyarakat jahiliyyah; dalam arti terlepasnya ia dari hukum kekerabatan orang tua kandungnya dan masuknya ia ke dalam hukum kekerabatan orang tua angkatnya. Hukum Islam hanya mengakui, bahkan menganjurkan, pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak; dalam artian status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Ia tetap anak dan kerabat orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya.
Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar dijadikan anak kandung berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab (33) ayat 4-5, yaitu :
Artinya :    Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar, itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[9]

Para Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hukum Islam melarang praktek pengangkatan anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang dikenal oleh hukum barat/hukum sekuler dan praktek masyarakat jahiliyyah; dalam pengertian pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat terputus hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, anak angkat memiliki hak waris sama dengan hak waris anak kandung, orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak angkat. Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya tanggungjawab untuk memberikan nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara, dan lain-lain, dalam konteks beribadah kepada Allah SWT.
Aspek hukum menashabkan anak angkat kepada orang tua angkatnya, atau yang memutuskan hubungan nasab dengan orang tuanya lalu dimasukkan anak angkat ke dalam klan nasab orang tua angkatnya, adalah yang paling mendapat kritikan dan penilaian merah dari Islam, karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, juga oleh Imam Bukhori, Rasulullah pernah menyatakan bahwa :
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ اِلاَّ كَفَرَ وَمَنْ ادَّعَى قَوْمًا لَيْسَ لَهُ فِيْهِمْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya :    Tidak seorangpun yang mengakui (membanggakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur. Dan barang siapa bukan dari kalangan kami (kalangan kaum muslimin), dan hendaklah dia menyiapkan sendiri tempatnya dalam api neraka.[10]  
   
Al-Imam Al-Lausi juga menyatakan bahwa haram hukumnya bagi orang yang dengan sengaja menisbahkan ayah kepada orang yang bukan ayanya, sebagaimana yang terjadi dan dilakukan oleh masyarakat jahiliyyah. Adapun apabila seseorang memanggil seorang anak dengan panggilan anakku “ibni” yang menunukkan kasih sayangnya seseorang anak yang dipanggil tersebut, maka hal ini tidak diharamakan.[11]
Unsur kesengajaan menasabkan seseorang kepada seorang ayah yang buykan ayahnya padahal ia mengetahui ayahnya yang sebenarnya, adalah penyebab haramnya perbuatan tersebut, dan hal demikian itu terjadi dalam lembaga pengangkatan anak (Tabanni) dalam pengertian tidak terbatas.
Dalam salah satu hadisnya Rasulullah SAW bahkan mengajarkan pelakunya sebagai kufur: 
Artinya :    Dari Abu Dzar r.a. Bahwasannya ia mendengar Rasulullah SAW. Bersabda: “tidak seorangpun mengakui (membanggakan diri) kepada orang yang bukan bapak yang sebenarnya, sedangkan ia mengetahui benar bahwa orang itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur.[12]

AL-Imam An-Nawawi mengatakan bahwa kafir yang dimaksud dalam hadits tersebut, ada dua penafsiran, yaitu : kafir bagi yang menghalalkan secara sengaja dan terang-terangan hal tersebut; dan kufur ni’mat dan kebaikan, atas hak Allah dan hak ayah kandung anak angkat. Jadi maksudnya bukan kafir ynag dapat mengeluarkan seseorang dari agama Islam.[13]
Ibnu Hajara Al-Asqalani, mengatakan sebagian ulama berpendapat bahwa sebab-sebab dinisbahkan seseorang kepada kekafiran karena ia telah berbohong kepada Allah SWT, seakan-akan ia mengatakan bahwa ia telah diciptakan dari hasil sperma fulan, padahal bukan begitu. Oleh karena itu, hukum kafir dalam hadits tersebut bukan kafir hakiki yang dapat mengekalkan seseorang di neraka.[14]
Ahmad Al-Bari, mengatakan bahwa “Mengambil, dan merawat anak yang terlantar tanpa harus memutus nasab orang tua kandungnya adalah wajib hukumnya yang menjadi tanggungjawab masyarakat secara kolektif, atau dilaksanakan oleh beberapa orang sebagai kewajiban kifayah. Tetapi hukum dapat berubah jadi Fardlu ‘Ain apabila seseorang menemukan anak terlantar atau anak terbuang di tempat yang sangat membahayakan atau nyawa anak itu.[15] 
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa memungut, mengasuh, memelihara, dan mendidik anak-anak yang terlantar demi kepentingan dan kemaslahatan anak dengan tidak memutuskan nasab orang tua kandungnya adalah perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh ajaran Islam, bahkan dalam kondisi tertentu dimana tidak ada orang lain yang memeliharanya makabagi si mampu yang menemukan anak terlantar tersebut hukumnya wajib untuk mengambil dan memeliharanya tanpa harus memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya.
   
5.           PENGANGKATAN ANAK MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN
Pengadilan agama sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah peradilan Negara yang harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, walaupun dalam penjelasan pasal 49 huruf a angka 20 disebutkan “... dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam”, bukan berarti bahwa pengadilan agama dalam menjalankan tugasnya mengenai pengangkatan anak semata-mata berdasarkan hukum Islam dengan mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelassan pasal 33 ayat (2) UU Nomor 23 tahun 2002 disebutkan bahwa Pengadilan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa UU Nomor 23 tahun 2002 berlaku dan mengikat Pengadilan Agama.
Oleh karena KetentuanPeralihan pasal 91 UU Nomor 23 tahun 2002 menyatakan “Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini”, maka keberadaannya bersifat melengkapi dan tidak membatalkan ketentuan yang sudah ada, atau dengan kata lain, segala ketentuan mengenai pengangkatan anak yang telah ada sebelumnya masih diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan UU Nomor 23 tahun 2002 tersebut. Bagi Pengadilan Agama, berlaku segala ketentuan mengenai pengangkatan anak sepanjang tidak bertentangan dengan UU Nomor 23 tahun 2002 dan hokum Islam.
Bagian Kedua UU Nomor 23 tahun 2002 mengatur Pengangkatan Anak yang dituangkan dalam pasal 39, 40 dan 41.
Dalam pasal 39 diatur :
1)      Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adapt kebiasaan setempat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2)      Pengangkatan anak sebagaimana dimaksudkan ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.
3)      Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
4)      Pengangkatan anak oleh warga Negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
5)      Dalam hal asal usl anaka diketahui, maka agama anak diseseuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Pasal 40, mengatur kewajiban orang tua angkat memberitahu anak angkatnya mengenai asal usul dan kedua orangn tuanya. Pasal41 mengatur peran pemerintah dan masyarakat dalam melakukan bimbingan dan pengawasan pelaksanaan pengangkatan anak. Sementara ketentuan pengangkatan anak harus melalui lembaga pengadilan diatur dalam Ketentuan Umum pasal 1 ayat (9).

6. KEWARISAN ANAK ANGKAT MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN STAATSBLAD 1917 NO. 129

7. PENCATATAN PENGANGKATAN ANAK
Diantara tujuan pengangkatan anak melalui lembaga Pengadilan adalah untuk memperoleh kepastian hukum, keadilan hukum, legalitas hukum, dan dokumen hukum. Dokumen hukum telah terjadinya pengangkatan secara legal sangat penting dalam hukum keluarga, karena akibat hukum dari pengangkatan anak tersebut akan berdampak jauh ke depan sampai beberapa generasi keturunanyang menyangkup aspek hokum kewarisan, tanggung Jawab hukun, dan lain-lain.
Pengangkatan Pengadilan Negeri tentang Pengangkatan Anak adalah salah satu dokumen hukum pengangkatan anak yang sangat penting. Dengan ditetapkannya seorang anak menjadi anak angkat dari A dan B sebagai orang tua angkatnya,maka dapat dipandang bahwa anak angkat tersebut seolah-olah sebagai anak yang baru lahir ditengah-tengah keluarga A dan B, karena ia di tengah-tengah keluarga A dan B dengan segala hak dan kewajibannya yang dipersamakan dengan anak kandungnya, maka kewajiban A dan B sebagai orang tua (orang tua angkat) harus mencatatkan anak angkatnya itu ke Kantor Catatan Sipil untuk memperoleh semacam Akta Kelahiran yang memuat peristiwa atau kejadian hokum yang timbul antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Dasar pengajuan pencatatan angkat ke Kantor Catatan Sipil adalah Penetapan Pengadilan Negeri tentang Pengangkatan Anak.
Dengan lahirnya sirat “Akta Pengangkatan Anak” dari Kantor Catatan Sipil tersebut, maka “Akta Kelahiran Anak” tersebut dari orang tua kandungnya (orang tua asal) secara serta merta menjadi gugur atau hapus dengan sendirinya. Karena aspek administrasi, tidak mungkin seorang anak memiliki dua akta kelahiran dengan dua orang tua kandung.
Dengan lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang berlaku mulai tanggal 21 Maret 2006, Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolute untuk menerima, memeriksa, dan mengadili perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Sebagaimana produk hukum yang dikeluarkan Pengadilan Negeri tentang Pengangkatan Anak yang berbentuk “Penetapan”, maka produk hukum Pengadilan Agama tentang “Pengangkatan Anak” yang dilakukan berdasarkan hukum Islam juga berbentuk “Penetapan”. Yang menjadi persoalan adalah “apakah anak yang telah ditetapkan sebagai anak oleh Pengadilan Agama harus juga dicatatkan oleh orang tua angkatnya ke kantor Catatan Sipil ?”. di depan telah diuraikan bahwa penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam oleh Pengadilan Agama tidak memutuskan hubungan hukum atau hubungan nasab orang tua kandungnya. Anak angkat secara hukum tetap diakui sabagai anak kandung dari orang tua kandungnya. Anak angkat dalam hukum Islam juga tidak menjadi anak angkat itu sebagai anak kandung atau anak yang dipersamakan hak-hak dan kewajibannya seperti seperti anak kandung dari orang tua angkatnya, hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya seperti hubungan anak asuh dengan orang tua asuh yang diperluas oleh karena itu, tidak bisa diandaikan seolah-olah anak angkat itu sebagai anak yang baru lahir di tengah-tengah keluarga orang tua angkatnya dengan segala hak dan kewajiban seperti anak kandung. Kalau demikian halnya, maka akta kelahiran anak angkat tersebut tidak gugurkan atau hapus dengan sendirinya dengan ditetapkannya penetapan pengangkatan anak oleh Pengadilan Agama. Konsekuwensi logisnya tidak perlu adanya pencatatan anak angkat yang ditetapkan berdasarkan hukum Islam oleh orang tua angkatnya ke kantor Catatan Sipil.
Langkah yang perlu ditawarkan kepada pemerintah kaitannya dengan kemungkinan pencatatan anak angkat yang telah ditetapkan Pengadilan Agama adalah “Membuat catatan pinggir pada akta kelahiran anak, bahwa anak yang bersangkutan sekarang ini telah menjadi anak angkat A dan B misalnya. Hak dan kewajiban serta perwalian anak telah beralih tanggung jawabnya dari orang tua kandungnya kepada orang tua angkatnya”.


C.    KESIMPULAN
1.      Pertimbangan Hakim dalam memutus perkara pengangkatan anak  
Pasal yang digunakan majelis hakim dalam memutus perkara pengangkatan anak adalah pasal 171 huruf h, pasal 209 ayat 2, dan pasal 100 untuk kasus anak yang bapak asalnya tidak diketahui, karena keterbatasan KHI maka ketentuan hokum Islam di luar KHI seperti ayat al Quran surat al Ahzab ayat 4-5 dan beberapa hadits Rasulullah Saw juga dijadikan dasar hukum. Yang pada intinya adalah sebagai berikut :
a.         Pengangkatan anak tidak memutuskan atau merubah nasab antara anak angkat dengan orang tua asal, sehingga anak tersebut tetap dinasabkan dengan orang tua kandungnya.
b.      Pengangkatan anak dalam Islam sebenarnya hanya peralihan tanggungjawab biaya hidup, pendidikan, bimbingan agama dan lain-lain dari ornag tua asal kepada orang tua angkat, tetapi tidak memutus hubungan hukum atau nasab dengan kedua orang tuanya
c.       Antara anak angkat dengan orang tua angkat terdapat hubungan keperdataan wasiah wajibah
d.      Untuk pengangkatan anak diperlukan persetujuan orang tua asal, wali atau badan hukum yang menguasa anak yang akan diangkat
e.       Pengangkatan anak yang orang tuanya beragama Islam hanya dapat dilakukan oleh orang yang beragama Islam.
2.        Status Anak Angkat
a.       Anak angkat tidak terputus dengan nasab orang tua kandungnya, yang beralih hanyalah tanggungjawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat.
b.      Anak angkat dipanggil bin atau binti dengan nama ayah atau orang tua kandungnya.
c.       Orang tua angakt tidak sah menjadi wali nikah anak angkatnya, jika anak angkat perempuan.
d.      Anak angkat tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Anak angkat dapat memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya melalui lembaga wasiat wajibah yang jumlahnya tidak boleh melebihi sepertiga dari harta warisan.
e.       Anak angkat boleh dinikahi orang tua angkatnya.

D.    PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat, apabila ada kekurangan dalam penulisan kami ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran demi kemajuan yang akan dating sangat kami harapkan demi sempurnya makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat baki kita semua.


E.     REFERENSI
·      Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al Qur’an, Departemen Agama RI, Jakarta, 1990.
·      Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathul al-Bary, (Kairo : Al-Maktabah Al-Salafiyah, tt), Jilid 12.
·      An-Nawawi, Syarah Al-Muslim, (Kairo : Dar Al-Rayyan Li Turats, 1987), Jilid I.
·      Al-Lausi, Ruh Al-Ma’ani, (Beirut : Dar Al-Fikr, tt), Jilid 21.
·      Bukhori, Shahih Bukhori, Dar al Fikr, Juz III.
·      John M., Echols, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2000.
·      Muslim, Shahih Muslim, Dar al Fikr, t. th.
·      Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2002.
·      Nasroen Harun, dkk, Eksiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1996, Jilid I.
·      Simorangkir, JCT, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1987.
·      Zakariya Ahmad Al-Bari, Akhkam al-Aulad fi al-Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).



[1] Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2002, hal 53.
[2] John M., Echols, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2000, hlm. 13.
[3] Simorangkir, JCT, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hlm. 4
[4] Nasroen Harun, dkk, Eksiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1996, Jilid I, hlm. 29-30.
[5] Al Qur’an Surat al Maidah Ayat 2, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1990.
[6] Al Qur’an, Surat al Maidah Ayat 32, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1990.
[7] Al Qur’an, Surat al Insaan Ayat 8, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1990.
[8] Al Qur’an, Surat al Ahzab 4-5, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1990.
[9] Al Qur’an, Surat al Ahzab Ayat 4-5, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1990.
[10] H.R. Bukhori-Muslim, dari Abu Dzar r.a, bahwasannya Rasulullah SAW pernah bersabda.
[11] AL-Lausi, Ruh Al-Ma’ani, (Beirut : Dar Al-Fikr, tt), Jilid 21, hlm. 149.
[12] An-Nawawi, Syarah Al-Muslim, (Kairo : Dar Al-Rayyan Li Turats, 1987), Jilid I, hlm. 53.
[13] Ibid.
[14] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathul al-Bary, (Kairo : Al-Maktabah Al-Salafiyah, tt), Jilid 12, hlm. 56.
[15] Zakariya Ahmad Al-Bari, Akhkam al-Aulad fi al-Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar